SUARAIKAWANGI, Semarang – Dugaan praktik rekayasa kasus kembali mencuat di tubuh aparat penegak hukum. Kasubdit I Ditnarkoba Polda Jawa Tengah dituding melakukan kriminalisasi terhadap seorang ibu penjual kue berinisial YN, yang ditangkap pada 7 Agustus 2025 lalu di kawasan Semarang.
Awalnya, YN hanya diminta oleh seorang pria bernama Justo untuk membelikan sabu-sabu seberat 0,5 gram. Namun ketika hendak menyerahkan barang haram itu, Justo ternyata sudah bersama sejumlah penyidik Subdit I Ditnarkoba Polda Jateng. YN langsung digelandang ke Gedung Ditnarkoba, Tanah Putih, Semarang.
Keluarga YN mengaku tidak menerima surat penangkapan pada hari kejadian. Surat tersebut baru diberikan beberapa hari kemudian, setelah sebelumnya ada oknum yang menawarkan “jalan damai” dengan imbalan Rp30 juta. “Penyidik bilang, kami sudah kasih kesempatan. Kalau tidak ada dana, kasus tetap jalan,” ungkap salah satu keluarga.
Ironisnya, YN tidak dijerat dengan Pasal 127 UU Narkotika sebagai pemakai, melainkan dikenakan Pasal 112 dan 114 yang lebih berat—seolah-olah ia pengedar atau kurir narkoba.
Sementara itu, Justo yang diduga menjadi pemesan, justru ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) bersama seorang pria lain bernama Aris alias Siluman. Kejanggalan muncul karena keduanya masih bebas beraktivitas, namun tidak pernah ditangkap hingga kini.
Wartawan senior Yosua Bakara angkat bicara. Ia menilai kasus ini penuh kejanggalan dan berpotensi menjadi praktik kriminalisasi masyarakat kecil.
“Kami mendukung pemberantasan narkoba, tapi jangan sampai aparat justru menyusahkan rakyat kecil. Kalau YN memang hanya pemakai, seharusnya direhabilitasi, bukan dijadikan kambing hitam,” tegas Yosua.
Ia mendesak Kasubdit I Ditnarkoba Polda Jateng, Kompol Wiyoto, untuk segera menangkap dua nama yang sudah ditetapkan sebagai DPO. Namun, permintaan itu justru dijawab dengan alasan aneh. “Kalau mereka ditangkap nanti, akan memperberat YN. Kasihan kan,” kata Wiyoto kepada wartawan.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan publik. “Kalau memang kasihan, kenapa berkas YN tetap dilanjutkan ke kejaksaan? Atau jangan-jangan ada kepentingan lain?” sindir Yosua.
Publik juga menyoroti prosedur penetapan DPO yang dinilai tidak sesuai aturan. Seharusnya, penyidik lebih dulu mengeluarkan surat panggilan, lalu melakukan upaya paksa penangkapan. Jika tetap tidak ditemukan, barulah status DPO diterbitkan dan disebarkan ke publik. Fakta di lapangan menunjukkan tahapan ini tidak dilaksanakan dengan benar.
Sejumlah warga bahkan melontarkan komentar pedas terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan aparat, antara lain:
“Mereka didesak atasan supaya ada penangkapan, biar terlihat berprestasi.”
“Kalau ada uang, kasus bisa berhenti. Kalau tidak, lanjut terus.”
“Kalau bandar ditangkap, nanti setoran hilang. Makanya dibiarkan bebas.”
Yosua berharap Kapolda Jateng dan Kapolri segera turun tangan. Menurutnya, kasus ini tidak hanya menyangkut nama baik kepolisian, tetapi juga masa depan masyarakat kecil yang bisa sewaktu-waktu menjadi korban rekayasa hukum.
“Sekalipun YN pernah memakai, dia itu korban. Korban bandar narkoba dan korban oknum aparat. Tugas polisi adalah menyelamatkan, bukan menjebak,” pungkasnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik di Semarang. Masyarakat menunggu langkah tegas dari pimpinan Polri untuk menindak oknum penyidik yang diduga menyalahgunakan kewenangannya. (Red)