Example 728x250 Example 728x250

Konflik Tak Berujung di Ulu Lere: Dua Rumpun Adat Tagih Janji Pemda Morowali

SUARAIKAWANGI, MOROWALI – Perseteruan panjang antara masyarakat adat dan korporasi tambang kembali mencuat di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Dua rumpun keluarga adat, yakni Rumpun Keluarga Raja Abdul Rabi dan Rumpun Keluarga Lasapi, mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) Morowali untuk segera bersikap tegas dalam menyelesaikan sengketa lahan dengan PT Vale Indonesia Tbk di wilayah Desa Ulu Lere, Kecamatan Bungku Timur.

Lahan yang kini menjadi area operasi tambang tersebut diklaim sebagai wilayah adat turun-temurun milik kedua rumpun keluarga. Dalam pernyataan resmi yang diterima redaksi, mereka mengungkapkan kekecewaan atas lambannya respon pemerintah terhadap persoalan yang telah berlarut-larut ini.

“Kami masih menunggu itikad baik dari Pemda Morowali untuk menyelesaikan persoalan ini secara serius. Hak kami sebagai pemilik sah atas lahan tersebut harus diakui dan dihargai,” tegas salah satu perwakilan keluarga dalam keterangannya.

Ketidakhadiran langkah konkret dari pemerintah dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat. Padahal, mereka menilai, keberadaan perusahaan di atas lahan yang disengketakan telah berdampak langsung terhadap kehidupan sosial dan lingkungan sekitar.

Kedua rumpun menegaskan bahwa meskipun diliputi rasa kecewa dan keresahan, mereka tetap menjunjung tinggi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Mereka memilih menempuh jalur hukum dan mekanisme sah yang diatur oleh negara dalam memperjuangkan hak adatnya.

Sengketa semacam ini bukan kali pertama terjadi di Morowali—daerah yang kini menjadi pusat investasi pertambangan nikel skala nasional dan internasional. Persoalan tumpang tindih lahan, lemahnya pengakuan terhadap hak ulayat, hingga minimnya pelibatan masyarakat adat dalam proses perizinan masih menjadi luka terbuka dalam praktik pembangunan di wilayah tersebut.

“Kami bukan menolak investasi, tapi menuntut keadilan. Pemda harus menunjukkan keberpihakan pada masyarakat adat jika memang pembangunan ingin berkelanjutan dan berkeadilan,” lanjut perwakilan keluarga.

Desakan kepada Pemda Morowali bukan hanya soal mediasi sengketa, tapi juga menyangkut komitmen moral dan politik pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi fasilitator korporasi, tetapi juga penjaga kedaulatan rakyat atas tanahnya sendiri.

Dalam konteks sengketa antara masyarakat adat dan perusahaan tambang, terdapat sejumlah dasar hukum yang seharusnya menjadi acuan bagi pemerintah daerah dan pihak korporasi, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pasal ini menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi masyarakat adat.

2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional harus dihormati, selaras dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai universal hak asasi manusia.”

3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 63 menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam perlindungan masyarakat lokal dan adat, termasuk dalam konteks konflik agraria dan pertambangan.

4. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 (jo. UU No. 3 Tahun 2020) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

Pasal 135A menyebut bahwa masyarakat yang terkena dampak kegiatan pertambangan memiliki hak atas informasi, partisipasi, dan perlindungan lingkungan hidup.

Perusahaan tambang juga diwajibkan melakukan pemberdayaan masyarakat serta pengakuan atas tanah ulayat (jika dibuktikan secara sah).

5. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012

MK memutuskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, tetapi hutan milik masyarakat hukum adat, yang memiliki implikasi besar dalam klaim atas tanah adat yang tumpang tindih dengan izin tambang.

Dengan dasar hukum tersebut, pemerintah daerah memiliki landasan kuat dan legitimasi untuk:

– Melakukan mediasi aktif antara masyarakat adat dan perusahaan.

– Mengevaluasi izin-izin usaha pertambangan yang berada di atas klaim masyarakat adat.

– Mendorong pengakuan hukum formal terhadap keberadaan masyarakat adat, melalui peraturan daerah (Perda) atau rekomendasi pengakuan kepada pemerintah pusat.

Jika pemerintah daerah mengabaikan dasar hukum ini, maka bukan hanya menyalahi konstitusi, tetapi juga memperlebar jurang ketidakadilan sosial yang berisiko memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.

Hingga berita ini diturunkan, diharapkan ada tanggapan resmi dari pihak Pemerintah Daerah Morowali maupun manajemen PT Vale Indonesia terkait tuntutan dua rumpun keluarga adat tersebut. (Red)

Pewarta: Muh. Ukub – PPWI Morowali

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomer 40 tahun1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui Email: Redaksi@suaraikawangi@gmail.com. Terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *