SUARAIKAWANGI, Blora — Sidang kedua praperadilan atas penangkapan dua wartawan, Siyanti dan Febrianto Adi Prayitno, berlangsung di Pengadilan Negeri Blora dengan suasana panas dan penuh kritik terhadap aparat penegak hukum. Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., yang juga alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI Tahun 2012, tampil dalam konferensi pers usai persidangan dengan pernyataan tajam menyoroti kinerja Mabes Polri, Rabu (2/7/2025)
Dalam keterangannya di hadapan media, Wilson menyebut bahwa Mabes Polri kembali gagal menunjukkan profesionalisme karena mengutus perwakilan ke pengadilan tanpa dibekali surat kuasa resmi dari pimpinan institusi.
“Bagaimana bisa institusi setinggi Mabes Polri mengutus wakilnya tanpa surat kuasa? Ini sudah kali kedua kami datang, tapi sidang terganjal karena hal sepele. Padahal Polri sendiri pemegang hukum, tapi justru melanggar prosedur dasar,” ujarnya kecewa.
Wilson menyampaikan bahwa praktik seperti ini sangat mencoreng wajah hukum di mata publik, apalagi terjadi dalam kasus yang menyangkut kebebasan pers dan dugaan kriminalisasi terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya.
“Bagaimana kita berharap masyarakat percaya pada institusi hukum, kalau aparatnya sendiri mempertontonkan kelalaian? Ini bukan hanya soal teknis surat kuasa, ini soal etika, soal tanggung jawab!” tegas alumni Universitas Utrecht, University of Birmingham, dan Linköping University ini.
Dalam konferensi tersebut, Wilson juga menyampaikan harapan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar bersikap tegas dan memberi contoh kepemimpinan yang adil serta patuh hukum.
“Saya minta Kapolri jangan cuma tegas di televisi. Tunjukkan bahwa hukum ditegakkan dari atas. Jangan biarkan institusi ini jadi bahan tertawaan rakyat karena ulah perwakilannya sendiri,” serunya.
Wilson juga menyoroti prosedur penangkapan dan penahanan terhadap para wartawan yang dinilai tidak sesuai SOP. Ia menyebut bahwa aparat penegak hukum terlalu gegabah menerbitkan surat penangkapan hanya berdasarkan asumsi, bukan laporan resmi atau aduan sah.
“Kalau itu laporan (Laporan Polisi – LP), jelas prosesnya. Tapi ini katanya temuan, tanpa klarifikasi, langsung main tangkap. Di mana etikanya? Penegakan hukum kok suka-suka!” tukasnya.
Menurutnya, dalam sistem hukum yang adil, tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang dari aparat. Ia juga menegaskan bahwa pelanggaran prosedural dalam proses hukum bisa menjadi preseden buruk bagi supremasi hukum di Indonesia.
Tim hukum PPWI yang mendampingi pemohon praperadilan terdiri dari para pengacara senior, antara lain Dolfie Rompas, Ujang Kosasih, Anugrah Prima, dan Yusuf Saefullah, serta didukung penuh oleh jaringan nasional PPWI.
“Kami tidak akan mundur. Ini bukan hanya soal dua wartawan. Ini soal wajah hukum Indonesia di hadapan rakyatnya. Kami akan kawal sampai akhir, sampai keadilan ditegakkan,” ujar Wilson menutup pernyataannya.
PPWI juga mengajak media nasional dan internasional serta masyarakat sipil untuk turut mengawasi proses hukum yang tengah berjalan, agar tak ada lagi ruang untuk kriminalisasi terhadap kerja jurnalistik. (SAD/Red)
Catatan Redaksi:
Perkara ini menjadi penting bukan hanya karena menyangkut kebebasan pers, tetapi juga sebagai ujian bagi integritas institusi penegak hukum. Apakah hukum akan berpihak pada keadilan atau terus tunduk pada kekuasaan?